Selasa, 30 April 2013

Buta Cakil Mewabah di Aneka Panggung


BEGITU banyak karakter dalam dunia wayang yang bisa melukiskan tabiat, watak, dan perilaku anak bangsa ini, apalagi untuk para elitenya. Di antara yang paling banyak mereka mainkan adalah perilaku Cakil. Bagi pandemen wayang, pasti sudah familier dengan sosok Cakil alias Gendir Penjalin itu. Ia kategori yaksa (buta) tapi bertubuh ramping dengan ciri khas, bergigi dan bertaring runcing bergidik. Tokoh ini kreasi pujangga pada zaman Sultan Agung dan tidak dapat ditemui dalam cerita asli Mahabarata.
Cakil sering dipakelirkan sebagai prajurit negeri tanah seberang berpangkat tumenggung.
Ia bermental pemberani, tapi minus perhitungan. Uniknya, tokoh ini hampir selalu muncul dalam lakon apa pun dan perannya sebagai penggoda, pengganggu, dan pengacau. Gaya dan tingkah lakunya provokatif, istilah bahasa Jawa-nya kaya yakyak-a.
Biasanya, Cakil diceritakan sebagai penjaga suatu wilayah berhutan. Ia selalu mencegat dan berkelahi dengan satria yang kebetulan sedang melewati daerah kekuasaannya. Dalam seni pedalangan, pertarungan Cakil dengan satria itu disebut perang kembang.
Dari olah bela diri, keperigelan Cakil memang tidak ada tandingannya.
Tangan dan kakinya sigap melepaskan jurus-jurus pukulan dan tendangan.
Ia juga lihai jungkir-balik, mahir bersalto, serta menggelundung. Dan setiap gerakan, diiringi dengan jeritan dan teriakan. Di tangan dalang wayang kulit yang terampil, Cakil bisa bermetamorfosis layaknya makhluk hidup. Polah tingkahnya menarik dan indah. Gerakannya lentur, trengginas, energik, dan ekspresif.
Namun, di balik semua itu, Cakil sangat rapuh. Bahkan, setiap kemunculannya pasti berakhir dengan kematian, dan itu pun akibat tertusuk senjata (keris)nya sendiri.
Sombong Lantas, apa yang bisa digarisbawahi pada tokoh Cakil? Ditilik dari nilai filosofisnya, Cakil sebenarnya melambangkan sebagian nafsu buruk yang bersemayam pada diri setiap insan. Maka, si ia selalu digambarkan bertarung melawan kebaikan, yang dalam pakeliran disimbolkan dengan satria yang sedang lelana brata (menyepi dalam keprihatinan).
Kemudian, kalau dimaknai secara harfiah, Cakil adalah sosok yang gemblung kumalungkung (sombong), bergajul, merasa pinter, dan waton sulaya (asal beda). Cakil juga bukan tokoh penting.
Selain itu, yang paling pokok Cakil sejatinya tidak memiliki kemampuan apaapa, hanya pandai ngomong.
Semua yang tampak `wah' pada dirinya itu sekadar gaya atau pencitraan. Bahkan ketika ia mati pun, tidak ada pihak yang merasa kehilangan.
Ini persis seperti ungkapan budaya Jawa, aji godhong garing (lebih berharga daun kering/ sampah), maksudnya tidak berharga sama sekali.
Nah, kalau kita memotret kondisi masyarakat saat ini, model yang seperti Cakil itu sesungguhnya ada di mana-mana. Kita amat mudah menemukan `cakil-cakil' di berbagai panggung. Celakanya, tidak sedikit dari kita justru terkagum-kagum, terbuai, bahkan terjebak untuk mengelu-elukan `cakilcakil' itu.
Berbeda dengan satria, simbol kebaikan dan budi luhur--biasanya diperankan tokoh Arjuna atau Abimanyu. Ia divisualkan sebagai sosok yang tenang, santun, dan tidak banyak cakap, tetapi ada keseriusan luar biasa dan fokus dalam bertindak.
Dengan kata lain, satria itu tidak suka gaduh atau heboh.
Tidak perlu gembar-gembor, tetapi bekerja keras dan mencapai hasil. Lebih dari itu, gayanya pun indah serta menawan. Sesungguhnya, watak satria seperti itulah yang kini kian mengering pada banyak diri kita.
(Ono Sarwono/H-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar